Senin, 15 September 2008

diyat

HUKUMAN DIYAT

1. Hukuman Diyat ialah harta yang wjib dibayar dan diberi oleh penjinayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jinayah yang dilakukan oleh penjinayah ke atas mangsanya.

2. Hukum Diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah dan Rasulnya di dalam Quran dan Hadis sebagai ganti rugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan, atau melukakannya.

3. Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah:-

a) Pembunuhan yang serupa dengan sengaja.

b) Pembunuhan yang tersala(tidak sengaja).

c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau ahli waris orang yang dibunuh. Firman Allah Taala:-

Maka sesiapa(pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaanya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yag baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab yang tidak terperi sakitnya.

http://www.geocities.com/soid8/hukuman_diyat.htm

ta'zir

Ta’zir adalah sebuah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir disini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Entah bagaimana sejarahnya, budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren.
Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran dalam benak saya jika kemudian tradisi itu akan terus berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut saya lebih mengarah pada tindakan yang anarkis.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.

Selain hal diatas, kenapa masyarakat di lingkungan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir bagi saya sama dengan budaya perpeloncoan saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif semisal olahraga, permaian dan sebagainya. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa bahwa cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik.
Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut saya-budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan.

Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak.
Dari hasil pengamatan saya, dari 21 pesantren yang ada di Salatiga 17 diantaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.

Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Disini Ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.

Untuk merubahnya, tentunya harus dimulai pada persoalan yang paling mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren (para pengurus yang juga termasuk santri, dan paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral dalam sebuah pesantren) memahami esensi sebuah hukuman dan bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah cara-cara seperti ta’zir masih tepat dipertahankan, atau jangan-jangan hanya menjadi tradisi turun temurun yang sia-sia?
Mungkin zaman dahulu ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut.
Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut saya, hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya.

Cara ini akan lebih indah dan menyentuh ketimbang cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.

http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/2006/10/tazir-budaya-anarkis-di-kalangan.html

Jinayat

Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Fadly
Thursday, 24 May 2007

1. DEFINISI JINAYAT

Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashbar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. (Subulus Salam III: 231).

Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar diat. (Manarus Sabil II: 315)

2. ISLAM MENGHORMATI KEHORMATAN–KEHORAMATAN KAUM MUSLIMIN

Allah swt berfirman:

“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS An-Nisaa’: 29-30)


3. HARAM BUNUH DIRI

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barang siapa menjatuhkan diri dari atas gunung, yaitu ia bunuh diri, maka pasti ia masuk neraka jahanam; ia dijebloskan ke dalamnya dan kekal abadi selama-lamanya di dalamnya. Barangsiapa meneguk racun, yaitu bunuh diri, maka racunnya berada di tangannya, ia meminumnya di dalam neraka Jahanam kekal abadi selama-lamanya di dalamnya. Barangsiapa bunuh diri dengan pisau tajam, maka pisau tajam tersebut berada di tangannya, yang dengannya ia menusuk perutnya di dalam neraka Jahannam, kekal abadi selama-lamanya di dalamnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari X: 247 no: 5778, Muslim I: 103 no 109, Tirmidzi III: 260 no: 2116, ‘Aunul Ma’bud X: 3855 hanya memuat kalimat yang ada masalah racunnya saja, dan Nasa’i IV: 67).

4. HAL-HAL YANG MEMBOLEHKAN MELAKUKAN PEMBUNUHAN

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya), kecuali dengan cara yang haq.” (QS Al-Israa’: 33)


5. KLASIFIKASI PEMBUNUHAN

Pembunuhan terbagi tiga: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan ketiga pembunuhan karena keliru.

Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar dugaan kuat bahwa dia harus dibunuh olehnya.

Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud tidak memukulnya, yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuhnya, namun ternyata oknum yang jadi korban meninggal dunia.

Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena kelliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.

6. AKIBAT HUKUM YANG MESTI DIEMBAN PELAKU PEMBUNUHAN

Untuk jenis pembunuhan yang kedua dan ketiga, maka pelakunya dikenakan hukuman harus membayar kafarah dan harus membayar diat bagi keluarga si pembunuh. Allah swt berfirman;
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (iidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisaa’: 92)




http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=341&Itemid=22

Qishos

SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUM QISHASH
Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda:
2. Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi saw:
3. Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada hadist Nabi saw:
4. Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw bersabda:
5. Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka. Al-Hasan berkata:

SEKELOMPOK DIQSISHASH KARENA TELAH MEMBUNUH SEORANG

Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu orang, maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik:

Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata, 'Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya.'” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2201, Muwaththa’ Malik hal. 628 no: 1584, asy-Syafi’i dalam al-Umm VI: 22 dan Baihaqi VIII: 41).

JELASNYA PELAKSANAN HUKUM QISHASH
Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:

1. Pengakuan dari pelaku
2. Kesaksian dua orang laki-laki yang adil

SYARAT-SYARAT PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN QISHASH
1. Ahli waris si kurban harus mukallaf. Jika ahli warisnya masih belum dewasa atau gila, maka si pembunuh harus dipenjara hingga ahli warisnya itu mukallaf.
2. Pihak keluarga korban sepakat menuntut hukum qishash, karena itu manakala ada sebagian di antara mereka yang mema’afkan secara gratis, maka gugurlah hukum qishash dari si pembunuh.
3. Pelaksanaan hukuman tidak boleh merembet kepada pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal penyusuannya.

TEKNIS PELAKSANAAN HUKUM QISHASH
Prinsip pelaksanaan hukum qishash, si pembunuh harus dibunuh sebagaimana cara ia membunuh, karena hal ini merupakan hukuman yang setimpal dan sepadan. Allah swt menegaskan:

PELAKSANAAN HUKUM QISHASH MENJADI WEWENANG HAKIM

Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena Allah swt menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul melaskanakan hukum qishash maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil Qur-an II: 245 – 246).

13. HUKUM QISHASH SELAIN BALAS BUNUH

Sebagaimana telah berlaku secara sah hukum qishash berupa balas bunuh, maka begitu juga berlaku secara sah hukum yang tidak sampai pada pembunuhan. Allah swt berfirman:

"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya." (QS Al-Maaidah: 45)

Meskipun hukum ini telah diwajibkan pada ummat sebelum kita, sehingga ia menjadi syar’un man-qablana (syariat yang pernah dibelakukan pada umat sebelum kita), namun ia merupakan syariat bagi kita pula karena diakui atau ditetapkan oleh Nabi saw. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebagai berikut:

SYARAT-SYARAT QISHASH SELAIN BALASAN AKAN PEMBUNUHAN

Untuk Qishash yang selain balas bunuh ditetapkan syarat-syarat berikut:

1. Yang melaksanakan penganiayaan harus sudah mukallaf
2. Sengaja melakukan jinayat, tindak penganiayaan. Karena pembunuhan yang bersifat keliru, tidak disengaja, pada asalnya tidak memastikan si pembunuh harus dituntut balas bunuh. Demikian pula halnya tindak pidana yang lebih ringan daripadanya.
3. Hendaknya status si penganiaya dengan yang teraniaya sama. Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.
HUKUM QISHASH YANG MENIMPA ANGGOTA TUBUH

Untuk melaksanakan hukum qishash yang menimpa bagian anggota tubuh ada tiga syarat yang harus dipenuhi:

1. Memungkinkan pelaksanaan qishash ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan penganiayaan baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua sisi hidung yang lentur, bukan tulangnya. Maka tidak ada qishash pada tubuh bagian dalam, tidak pula pada tengah lengan dan tidak pula pada tulang yang terletak di bawah gigi (tulang rahang).

2. Nama dan letak anggota tubuhnya sama. Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak boleh dibalas dengan bagian anggota badan yang kiri, bagian anggota tubuh yang kiri tidak boleh dengan yang kanan, jari kelingking tidak boleh dengan jari manis, dan tidak pula sebaliknya karena tidak sama dalam hal nama, dan tidak pula bagian anggota tubuh yang asli dibalas dengan yang tambahan (melalui proses operasi) karena tidak sama dalam letak dan daya manfaatnya.

3. Kondisi bagian anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan yang teraniaya dalam hal kesehatan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang sehat dibalas dengan yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat lagi sempurna dibalas dengan tangan yang kurang jari-jarinya: namun boleh sebaliknya.

DIQISHASH KARENA SENGAJA MELUKAI ORANG LAIN

Adapun kasus melukai orang lain secara sengaja, maka dalam kasus tersebut tidak wajib diqishash, kecuali pelaksanaannya sangat memungkinkan, yaitu sekiranya bisa melukai si penganiaya sama dengan luka yang diderita si korban, tanpa ada kelebihan dan pengurangan. Karenanya, apabila pelaksanan qishash ini tidak mungkin menghasilkan luka yang sama dan sepadan, melainkan mesti kadar ukurannya lebih, atau dapat membahayakan si penganiaya, atau justru membahayakan orang yang dijatuhi qishash ini, maka dalam hal ini tidak wajib diqishash, akan tetapi wajib membayar diat kepada si teraniaya.



Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 853 - 873.